Postingan

Jumat, 22 Mei 2020

Kita Perlu Bersabar


Begitu susah untuk melapangkan dada saat kita tau usaha kita terbuang sia-sia, harapan yang di harap-harapkan hancur seketika. Yang tadinya semangat-mangatnya kini tinggal meratap lesu menerima kenyataan.

Tak ada yang menginginkan kehancuran dan kegagalan dalam segala hal. Tidak ada, percayalah tidak ada yang menginginkannya. Tapi lagi-lagi kita mau tidak mau harus menerima kenyataan pahitnya.

Ku ucapkan Selamat untuk kalian. Kalian yang beruntung dengan semua pencapaian kalian.
Tangisan ku tak berarti apa-apa. Kini hanya cambuk yang kuratap dengan rasa malu dan sakit yang bertubi-tubi. Saat ini dan nanti ku harap rasa sakit ini segera hilang.

Hal yang paling ku takutkan, semangkin aku memendam rasa sakit ini, semangkin merajam meraja Lela ke lubuk hati yang paling dalam hingga pada puncaknya dendam pun hinggap tanpa dapat ku kendalikan. Amarah yang semangkin membara membuatku tak terkendali, hingga tak ku sadari aku berbuat apa yang pikiranku perintahkan.

Atas dasar ini, aku ucapkan maaf jika kata-kata ku menyinggung kalian.
Tapi aku tak salah, kalian juga tak salah. Hanya saja waktu yang tidak berpihak kepadaku dan wajar saja bukan, kalau aku marah. Tak ada yang salah.

Sudahlah, yang lalu biarlah berlalu, sakit ini biar berlalu seiring berjalannya waktu. Hari ini biar menjadi saksi bahwa aku gagal. Untuk besok, lusa dan seterusnya biar menjadi rahasia.

Coba lagi


Di saat kita berusaha menekuni hobi dengan harap-harap bisa membuka peluang keberuntungan melalui keikutsertaan dalam lomba-lomba yang bertebaran di media sosial. Namun sering pula kita kecewa dengan kegagalan yang kita ukur dengan standard 'juara'. Kalau gagal sekali sih, masih bisa beranggapan bahwa kegagalan itu berarti kemenangan belum berpihak ke kita. Namun kalau kita sering ikut dan sesering itu pula kita gagal, maka akan berujung pada rasa malas dan muak untuk mencoba kembali.

Setidaknya kalimat di atas mewakili perasaan teman-teman dan saya pribadi dalam hal memandang keberhasilan dan kegagalan dari standard juara. Sangat sulit untuk membuang stigma ini dalam fikiran kita. Seakan sudah tertanam bahwa dalam sebuah kompetisi apapun itu, puncak keberhasilannya adalah saat kita berhasil menyandang gelar sang juara.

For your infomation, sebenarnya jika motivasi kita lebih condong ke arah keberhasilan berdasarkan perolehan juara, jika kita gagal, kita akan merasakan kecewa dan emosi 'mengapa bukan aku yang menang', bahkan sering kita menyalahkan orang lain karna kita merasa lebih baik 'aku lebih baik dari dia, tapi kenapa kok aku yang selalu gagal, ini gak adil'.

Namun jika motivasi kita adalah kebaikan atau kebermanfaatan dengan dalih 'bismillah deh, menang atau kalah mah belakangan, yang penting ini bermanfaat' atau 'udah deh, menang kek, kalah kek yang penting berguna bagi yang liat'. What you think?, Yes 'pemikiran kek gini gak bakal bertahan lama deh', kenapa?. Sebab kita mungkin bisa berfikir begitu sekian  menit atau detik. namun seiring berjalannya waktu, fikiran seperti itu akan hilang dan bertransformasi ke arah pemikiran 'juara'. Sekali pun kita bisa mengalihkan motivasi kita untuk kebermanfaatan, nah mulai deh tu ada bisikan 'pasti menang deh tu'.

Kesel gak sih, jujur aku selalu berusaha memotivasi diri aku untuk ikut lomba tu bukan untuk mengejar juara 1,2 atau 3, tapi sering itu juga aku kayak dibisikin kalau aku niatin untuk kebermanfaatan, dengkan fikiran aku mikirnya kalau niatnya gitu pasti menang deh tu. Ini cobaan yang paling sulit untuk di hindari. Kadang kita iri kan sama orang yang sering ikut lomba dan pulang dengan membawa mendali emas atau uang dengan jumlah jutaan sampe miliaran (menyesuaikan sama tingkat lomba juga sih hehee). Kadang kita juga mikir kalau di bandingin dia, kita lebih berhak untuk mendapatkan apa yang dia dapatkan.

Aku juga gak memunafikan bahwa gak gampang merubah pola pikir kita. Tapi gak ada salahnya untuk selalu mencoba, kan kita gak pernah tau suasana hati kita. Syukur-syukur Allah berbaik hati menenangkan hati dan fikiran kita saat kita merasa kita gagal terus dan hampir putus asa, yaa kalik kan Allah salut sama semangat kita untuk terus nyoba ikut lomba ini, lomba itu dan di tambah lagi dengan usahakan kita dalam mempersiapkan diri sebelum bertempur (kayak mau perang aja yah wkwk).

Kadang Apa yang menurut kita baik atau dalam pandangan kita itu yang terbaik untuk kita, tapi di sisi Allah itu gak baik karna bisa jadi hal itu yang buat kita jadi manusia sombong dan angkuh. Namun jika apa yang menurut kita gak baik karna gak ada untungnya buat kita secara fisik dan finansial, namun di sisi Allah itu yang baik untuk kita karna bisa jadi dengan itulah kita bakal tampah nempel sama Allah dan ingat bahwa di atas langit masih ada langit.

Langit yang kita pandang mungkin sama, waktu yang kita miliki juga sama, namun bedanya ada pada cara kita memanfaatkan waktu yang kita miliki. Sewaktu-waktu mungkin kita merasa kita udah banyak berkorban namun hasilnya biasa-biasa aja, itu bisa jadi karna waktu yang kita korbankan adalah waktu yang membuat kita makin jauh sama Allah. Ketika azdan berkumandang, kita masih dalam posisi lagi sibuk sendiri, di saat orang ngajak  ke mesjid atau ngaji bareng kita malah enak-enakan mager di tempat tidur sambil mimpiin si dia (cie cie jomblo) dan kesibukan lain yang membuat kita lalai akan seruan kebaikan.

Nah, ini bisa jadi bahan introspeksi diri kita nih guys, coba deh kalau kita ada rasa-rasa jengkel karna gagal atau sesuatu yang kita usahakan mati-matian ternyata berbuah kepahitan, yuk coba di ingat lagi, selama ngerjainnya udah bismillah gak tu?, niatnya buat apa dulu tu?, udh yakin gak tuh, kalau bisa buat kita tenang?, Yang lebih urgen, apakah kita udah siap dengan segala konsekuensinya?..(di fikirin ya guys)

Senin, 18 Mei 2020

Aku Belum Siap


Sedari dulu kita tak pernah berubah. Tetap memandang diri ini belum pantas untuk berubah. Padahal perubahan bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah ketetapan yang akan hadir tanpa kita berhak menolak.

Sejatinya kita adalah agent of change (agen perubahan), mengapa demikian?. Sebab kita hidup di dunia bukan untuk selalu menjadi anak kecil yang merengek kepada orang tua dan selalu berpangku tangan kepada kedua orang tua. Bila masanya tiba, kehidupan ini akan selalu berputar mengikuti arus perubahan dunia.

Lantas mengapa kita masih belum siap?, Sedangkan banyak di luar sana orang yang sedang berjuang mengikuti perubahan. Baik trand fashion, style kekinian, koleksi barang-barang branded sampai merek hp yang selalu berubah dari tahun ke tahun. Lantas jika untuk urusan duniawi semua orang gila-gilaan berkorban banting tulang hanya untuk terlihat modis, bagaimana dengan dakwah dan tutunan agama yang mewajibkan kaum wanita menutup auratnya dengan berhijab?
Bagaimana dengan seruan dalam Al Qur'an Nur Karim yang melarang berbuat zina, salah satu nya pacaran?
Bagaimana dengan kabar iman kita hari ini, apakah sudah sekuat Bilal bin Rabbah yang kekeh men-Tauhid-kan nama Allah walau di depannya terbentang ancaman siksaan yang luar biasa menyakitkan, apakah iman kita sudah sekuat Ali bin Abi Thalib dengan kisah cintanya dengan Fatimah Az Zahra yang keduanya mencintai dalam diam, Bahkan iblis pun tak pernah tau hal itu.
Apakah iman kita sudah sekuat Rasulullah, walaupun banyak cacian dan hinaan yang mengintai, namun Rasulullah tetap berjuang utk meng-Esakan Nama Allah?

 lantas sudahkan iman kita seperti itu, atau bahkan kita sama sekali bukan apa-apa di banding mereka yang begitu gigihnya berjuang hingga rela mengorbankan nyawanya untuk agama.

Kita bukan tabi'in, bukan para sahabat , bukan pula Rasulullah. Namun, kita adalah umat Rasulullah, yang namanya di sebut sebut oleh Rasulullah sebanyak 3 kali sebelum Rasulullah menghembuskan nafas terakhir, ummati, ummati, ummati.

Bukan tanpa sebab Rasulullah berucap demikian. Lihatlah di sekeliling kita sekarang. Berapa banyak wanita muda maupun tua yang mengenakan hijab?, berapa banyak kaum muda yang memperdalam ilmu agama?, Berapa banyak dari kita yang faham dengan hakikat kehidupan di dunia?, Berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk mendekatkan diri kepada Sang pencipta, Allah SWT?

kita lihat hanya segelintir saja bukan. Lantas tugas kita hanya diam?. Tidak. Kitalah yang bertanggung jawab atas itu semua kalau kita tidak bergerak, baik dengan menegur atau memberikan contoh lantas siapa lagi?...

Minggu, 17 Mei 2020

Standard bahagia



Kita pasti pernah merasa setelah melakukan sesuatu kita mulai bahagia. Entah itu krna kita telah menolong orang lain yang sedang kesulitan dan kita mendapat imbalan berupa uang, lantas itu kita bahagia. Atau karna kita telah mendapatkan sesuatu yang kita damba-dambakan sehingga kita begitu excited sambil tersenyum riang, lantas karna itu kita bahagia. Dan semua hal yang membuat kita merasa telah mencapai suatu titik di mana kita begitu senang, gembira, dan tertawa lepas. Itu yang di sebut bahagia.

Lantas standard bahagian itu seperti apa?

Gampang saja, bahagian itu datangnya dari hati. Apa-apa yang membuat hati ini begitu damai, tenang dan tentram itu saja sudah menjadi standard bahagia.

Lantas apakah standard bahagia semua orang itu sama?

Jelas tentu berbeda. Kok bisa gitu?, Karna setiap kita memiliki aktivitas yang berbeda Namun tujuannya sama yaitu mencari standar bahagia masing-masing, entah itu dengan bekerja utk mendapatkan uang, yang nantinya di pake utk shoping, atau standar bahagia dengan peraihan prestasi di sekolah, sehingga ia bahagian dengan pencapaiannya yang nantinya ia akan mendapat hadiah dari org tua, atau yang lainnya berdasarkan aktivitas kita masing-masing.

Gimana sih untuk mencapai standard bahagia?

Nah, untuk menjawab pertanyaan ini, perlu di ingat teman-teman, bahwa apa-apa yang membuat kita bahagian, adalah apa-apa yang membuat hati kita tenang, damai dan tentram. Untuk mewujudkan hal itu, perlu yang namanya usaha. Setiap dari kita pasti akan selalu mengidam-idamkan sebuah ketenangan atau kebahagiaan. Namun untuk mencapai suatu kebahagian, lantas kita harus berusaha.

Dengan apa?, Dengan menyibukkan diri kita dengan hal-hal yang bermanfaat. Baik itu dengan menolong orang lain yang kesusahan dengan bantuan berupa uang, jika tak mampu dengan uang dengan senyum dan Semangat serta berfikir positif di setiap hal. Setidaknya jika di lihat dari action itu akan berdampak pada hati kita.

Apakah cukup dengan dengan 2 hal tersebut?

Selain dua hal tersebut, yang jelas dan pasti adalah pendekatan kita kepada sang pencipta. Semua kebaikan yang kita lakukan tidak semata-mata berasal dari tangan kita, melainkan atas campur tangan sang khaliq yaitu Tuhan semesta alam. Walaupun kita banyak melakukan kebaikan, namun jika pendakatan dengan Tuhan itu bagai angin yang berhembus seketika dan berlaku seketika pula, sama saja halnya kita mengisi air di dalam ember yang bolong. Semua kebaikan kita akan terbuang sia-sia dan kita tidak akan mendapat apa-apa.

Hal ini  sangat jelas bahwa sebaik-baiknya standar bahagia adalah apa-apa yang menjadikan hati ini tenang dengan kebaikan dan pendekatan kepada sang pencipta.

Saat muslimah mulai jatuh cinta

Cerita Epa Pariyanti, Pertukaran Mahasiswa Merdeka, Angkatan 1

  BERTUKAR SEMENTARA BERMAKNA SELAMANYA (Doc. acara pelepasan mahasiswa PMM dengan menggunakan baju adat daerah m...